Jumat, 26 Februari 2016

AMANAH

A M A N A H

Kata-kata “amanah” atau “amanat” sering kita dengar di kalangan masyarakat terutama pada waktu muballigh menyampaikan tausiahnya dalam upacara pernikahan. Terkadang nasihat orang tua kepada anak dan cucunya. Kata ini pun diucapkan oleh para pembicara pada waktu pertemuan penting untuk kemaslahatan masyarakat, dunia pendidikan dan berbagai momen penting lainnya.
Saudaraku yang dirahmati Allah, kata amanah ringan dalam ucapan akan tetapi mengandung tanggung jawab yang berat. Amanah artinya kepercayaan atau sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain. Dari bahasa Arab, kata amanah  berasal dari kata “Al-Amin” berarti yang dipercaya.
Al-Amin juga merupakan gelar kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Kejujuran yang ia miliki menjadikannya sosok yang dipercaya (amanah) oleh masyarakat Mekkah.
Salah satu kisah yang mengandung hikmah keamanahan Muhammad yang semakin menjadikan para pemuka Quraisy tidak meragukan lagi al-amin yang tersemat ke diri Rasul; akan kembali kita ulangi pada kesempatan kali ini.
Bagi mereka yang akan atau sudah melakukan ibadah haji atau umrah akan mendapati letak batu hitam Hajaratul aswad berada. Letaknya sejurus tempat start thawaf mengelilingi Ka’bah, Masjidil Haram kota Mekkah yang terletak di Arab Saudi. 
Hajaratul aswad merupakan bukti sejarah kedamaian dan persatuan umat. Tatkala itu, para pemuka kaum Quraisy sudah hampir terjadi perpecahan di antara sesama mereka disebabkan keberhakan memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya, yaitu di sudut ka’bah.
Perdebatan antara para pemuka suku mekkah terus terjadi atau tidak menemukan jalan keluar sehingga menimbulkan sebuah keputusan sementara, yaitu siapa yang pada esok hari masuk pintu Ka’bah pertama sekali, maka orang itulah yang berhak menentukan atau mengambil kebijakan perihal pemindahan batu hajar aswad. Keputusan sementara itu diterima. Para pemuka Quraisy kembali ke rumah masing-masing
Keesokan harinya, para pihak bertikai menunggu di sekitar ka’bah. Mereka menanti siapakah orang yang masuk ke baitullah pertama sekali guna memutuskan perkara pelik yang sedang mereka pertentangkan. Tiba-tiba Rasulullah muncul ke muka pintu ka’bah. “Itu dia, Al- Amin” teriak salah satu dari mereka.
Selain sebagai sosok amanah dan berbudi pekerti mulia. Baginda Rasul pun merupakan teladan bagi semua orang Mekkah. Baik dari dipandang dari sisi pribadi maupun keturunan. Sehingga, para pihak yang bertikai tanpa pikir panjang menyetujui Muhammad bin Abdullah bin Abdulmuthallib dari bani Hasyim sebagai pengambil kebijakan dalam kemelut yang sedang mereka hadapi.
Para pemuka kaum meminta beliau menjadi hakim berkenaan persengketaan yang sedang mereka alami. Muhammad yang kala itu belum diangkat menjadi rasul mendengar duduk persoalan para pemuka Quraisy perdebatkan. Cukup pelik, dikarenakan tiap-tiap pihak merasa berhak atas pemindahan batu hajar aswad.
Kemudian Baginda nabi melepas sorban yang ia kenakan kemudian  menggelarnya lalu beliau meletakkan batu hajar aswad pada (sorban)nya. Setelah itu beliau menyuruh kepada mereka yang merasa berhak atas pemindahan hajar aswad agar memegang sisi kiri-kanan kain; dan mengangkat hajaratul aswad secara bersama-sama menuju sudut ka’bah. Sesampai di sudut ka’bah, hajar aswad diletakkan oleh nabi Muhammad sendiri ke tempatnya. 
Keputusan yang diterima oleh tiap-tiap pihak yang bertikai. Tindakan tepat yang dilakukan Nabi ini benar-benar bijaksana sehingga perseteruan tidak terjadi. Masing-masing pihak puas dengan hasil keputusan dan mengagumi kecerdasan dan kebijaksanaan Muhammad Al-amin.
Ketahuilah, bahwa amanah  adalah sifat yang terpuji dan merupakan akhlak yang mulia yang tumbuh dari hati yang beriman atau hati yang bertauhid. Untuk itu, mari kita perhatikan Firman Allah yang terdapat di Q.S Al-Ahzab ayat 72 :



 “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”

Amanat yang diterima atau dipikul oleh manusia itu harus ditunaikan, perhatikan juga Firman Allah di Surat An-nisa ayat 58



“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”


Manusia Selaku Pemikul Amanat


Ada ulama yang menjelaskan bahwa amanat itu adalah ketaatan/kebaktian bersifat umum baik perangai ataupun kesadaran; thabi’at dan ikhtiariyah  dalam artian tugas-tugas tanggung jawab keagamaan. Adapula  yang mengartikan akal fikiran yang sehat mengemban dan menjalankan kepercayaan Allah SWT.
Menurut setengah ulama kata amanat adalah kata yang mengandung ketauhidan yaitu kalimah syahadat , kalimah iman, kalimah taqwa, kalimah nur yang kesemuanya adalah amanat sebagai penggugah dalam menjaga hak-hak yang harus dipelihara dan dikerjakan serta dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Sayyidina ‘Ali Krw sedang duduk  bersama Rasulullah Saw. “Ketika itu datang seorang laki-laki dari daerah pergunungan, mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw, ‘Yaa Rasulullah, apakah ajaran Islam yang paling ringan, dan apa pula ajaran Islam yang paling berat ?’ Rasulullah menjawab,  ‘Pertama yang paling ringan yaitu mengucap dua kalimah syahadat, kedua yang paling berat ialah memelihara amanat. Orang yang menyia-nyiakan amanat dipandang tidak beragama, shalat dan zakatnya tidak berpahala’” (Hadist riwayat Al-Bazzaar)
Allah berfirman dalam hadist qudsi, ”Wahai Adam sesungguhnya Aku (Allah)  telah menawarkan amanat kepada langit dan bumi namun mereka itu tidak mampu; apakah engkau (Adam) sanggup memikul amanat itu dengan segala akibatnya? Adam menjawab: ‘Apakah yang saya dapatkan dari padanya itu, Ya Allah?’
Allah  menerangkan, ‘Jika engkau sanggup memikulnya, engkau akan diberi balasan yang sangat baik berupa rahmat, hidayat dan surga. Akan tetapi jika engkau  menyia-nyiakannya, engkau akan disiksa dengan azab-Ku.’ Selanjutnya Adam berkata: ’Baiklah ya Allah, aku memikul dengan segala akibatnya’, 
Lalu, Adam bertanya, ‘Fakaifa ahmilu ma’a dha’fii’, artinya: bagaimana aku memikulnya, sedangkan  aku adalah  hamba yang lemah. Kemudian Allah berfirman: ‘Al-hamlu minka wal qudratu minnii’ (artinya : Engkau memikul hai Adam, sedangkan Akulah Tuhan yang menyertakan  qudrat-Ku padamu)”

Amanat itu dapat digolongkan kepada dua : 
1. Amanat dari Allah termasuk amanat dari Rasulullah Saw dan,
2. Amanat sesama manusia.
Amanat dari Allah SWT termasuk amanat dari Rasulullah Saw meliputi: 
·         Iman, Islam dan Ihsan.
·         Amar ma’ruf dan Nahi mungkar.
·         Uswatun hasanah  
Sedangkan amanat bagi sesama manusia mencakup:
·         Suami dan isteri.
·         Orang tua dan anak
·         Tetangga dan masyarakat.

Iman adalah  pangkal dari segala sesuatu dan kegiatan baik zahir maupun batin; bertitik tolok dari Allah menuju Allah. Maka, orang yang beriman akan melaksanakan amanat dengan sebaik-baiknya dibarengi dengan hati yang bergantung dan pasrah kepada Allah SWT.
Kalimat iman utama adalah Laa ilaaha illallaah. Syahadat atau kalimat pengakuan yang ketika diucapkan maka kita telah ber-ikrar. Sedangkan untuk mencapai iman yang haq maka alam ini adalah bukti nyata adanya Allah, Zat yang Wajibul Wujud Haqiqi Mutlak lalu diteruskan ke dalam hati tiap-tiap diri hingga menjadi i’tiqad. 

Wallahua’lam