A M A N A H
Kata-kata “amanah” atau
“amanat” sering kita dengar di kalangan masyarakat terutama pada waktu
muballigh menyampaikan tausiahnya dalam upacara pernikahan. Terkadang nasihat
orang tua kepada anak dan cucunya. Kata ini pun diucapkan oleh para pembicara
pada waktu pertemuan penting untuk kemaslahatan masyarakat, dunia pendidikan
dan berbagai momen penting lainnya.
Saudaraku yang dirahmati Allah, kata
amanah ringan dalam ucapan akan tetapi mengandung tanggung jawab yang berat.
Amanah artinya kepercayaan atau sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain. Dari
bahasa Arab, kata amanah berasal dari
kata “Al-Amin” berarti yang dipercaya.
Al-Amin juga merupakan gelar kaum
Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW sebelum beliau diangkat sebagai Rasul.
Kejujuran yang ia miliki menjadikannya sosok yang dipercaya (amanah) oleh
masyarakat Mekkah.
Salah satu kisah yang mengandung
hikmah keamanahan Muhammad yang semakin menjadikan para pemuka Quraisy tidak
meragukan lagi al-amin yang tersemat ke diri Rasul; akan kembali kita ulangi
pada kesempatan kali ini.
Bagi mereka yang akan atau sudah
melakukan ibadah haji atau umrah akan mendapati letak batu hitam Hajaratul
aswad berada. Letaknya sejurus tempat start thawaf mengelilingi Ka’bah,
Masjidil Haram kota Mekkah yang terletak di Arab Saudi.
Hajaratul aswad merupakan bukti sejarah
kedamaian dan persatuan umat. Tatkala itu, para pemuka kaum Quraisy sudah
hampir terjadi perpecahan di antara sesama mereka disebabkan keberhakan
memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya, yaitu di sudut ka’bah.
Perdebatan antara para pemuka suku
mekkah terus terjadi atau tidak menemukan jalan keluar sehingga menimbulkan
sebuah keputusan sementara, yaitu siapa yang pada esok hari masuk pintu Ka’bah
pertama sekali, maka orang itulah yang berhak menentukan atau mengambil
kebijakan perihal pemindahan batu hajar aswad. Keputusan sementara itu
diterima. Para pemuka Quraisy kembali ke rumah masing-masing
Keesokan harinya, para pihak bertikai
menunggu di sekitar ka’bah. Mereka menanti siapakah orang yang masuk ke
baitullah pertama sekali guna memutuskan perkara pelik yang sedang mereka
pertentangkan. Tiba-tiba Rasulullah muncul ke muka pintu ka’bah. “Itu dia, Al-
Amin” teriak salah satu dari mereka.
Selain sebagai sosok amanah dan
berbudi pekerti mulia. Baginda Rasul pun merupakan teladan bagi semua orang
Mekkah. Baik dari dipandang dari sisi pribadi maupun keturunan. Sehingga, para
pihak yang bertikai tanpa pikir panjang menyetujui Muhammad bin Abdullah bin
Abdulmuthallib dari bani Hasyim sebagai pengambil kebijakan dalam kemelut yang
sedang mereka hadapi.
Para pemuka kaum meminta beliau
menjadi hakim berkenaan persengketaan yang sedang mereka alami. Muhammad yang
kala itu belum diangkat menjadi rasul mendengar duduk persoalan para pemuka
Quraisy perdebatkan. Cukup pelik, dikarenakan tiap-tiap pihak merasa berhak atas
pemindahan batu hajar aswad.
Kemudian Baginda nabi melepas sorban
yang ia kenakan kemudian menggelarnya
lalu beliau meletakkan batu hajar aswad pada (sorban)nya. Setelah itu beliau
menyuruh kepada mereka yang merasa berhak atas pemindahan hajar aswad agar
memegang sisi kiri-kanan kain; dan mengangkat hajaratul aswad secara
bersama-sama menuju sudut ka’bah. Sesampai di sudut ka’bah, hajar aswad
diletakkan oleh nabi Muhammad sendiri ke tempatnya.
Keputusan yang diterima oleh tiap-tiap
pihak yang bertikai. Tindakan tepat yang dilakukan Nabi ini benar-benar
bijaksana sehingga perseteruan tidak terjadi. Masing-masing pihak puas dengan
hasil keputusan dan mengagumi kecerdasan dan kebijaksanaan Muhammad Al-amin.
Ketahuilah, bahwa amanah adalah sifat yang terpuji dan merupakan
akhlak yang mulia yang tumbuh dari hati yang beriman atau hati yang bertauhid.
Untuk itu, mari kita perhatikan Firman Allah yang terdapat di Q.S Al-Ahzab ayat
72 :
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh”
Amanat yang diterima atau dipikul oleh
manusia itu harus ditunaikan, perhatikan juga Firman Allah di Surat An-nisa
ayat 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.”
Manusia Selaku Pemikul Amanat
Ada ulama yang menjelaskan bahwa
amanat itu adalah ketaatan/kebaktian bersifat umum baik perangai ataupun
kesadaran; thabi’at dan ikhtiariyah dalam artian tugas-tugas tanggung jawab
keagamaan. Adapula yang mengartikan akal
fikiran yang sehat mengemban dan menjalankan kepercayaan Allah SWT.
Menurut setengah ulama kata amanat
adalah kata yang mengandung ketauhidan yaitu kalimah syahadat , kalimah iman,
kalimah taqwa, kalimah nur yang kesemuanya adalah amanat sebagai penggugah
dalam menjaga hak-hak yang harus dipelihara dan dikerjakan serta dipertanggung
jawabkan kepada Allah SWT.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari
Sayyidina ‘Ali Krw sedang duduk bersama
Rasulullah Saw. “Ketika itu datang seorang laki-laki dari daerah pergunungan,
mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw, ‘Yaa Rasulullah, apakah ajaran
Islam yang paling ringan, dan apa pula ajaran Islam yang paling berat ?’
Rasulullah menjawab, ‘Pertama yang
paling ringan yaitu mengucap dua kalimah syahadat, kedua yang paling berat
ialah memelihara amanat. Orang yang menyia-nyiakan amanat dipandang tidak
beragama, shalat dan zakatnya tidak berpahala’” (Hadist riwayat Al-Bazzaar)
Allah berfirman dalam hadist qudsi,
”Wahai Adam sesungguhnya Aku (Allah)
telah menawarkan amanat kepada langit dan bumi namun mereka itu tidak
mampu; apakah engkau (Adam) sanggup memikul amanat itu dengan segala akibatnya?
Adam menjawab: ‘Apakah yang saya dapatkan dari padanya itu, Ya Allah?’
Allah
menerangkan, ‘Jika engkau sanggup memikulnya, engkau akan diberi balasan
yang sangat baik berupa rahmat, hidayat dan surga. Akan tetapi jika engkau menyia-nyiakannya, engkau akan disiksa dengan
azab-Ku.’ Selanjutnya Adam berkata: ’Baiklah ya Allah, aku memikul dengan
segala akibatnya’,
Lalu, Adam bertanya, ‘Fakaifa ahmilu
ma’a dha’fii’, artinya: bagaimana aku memikulnya, sedangkan aku adalah
hamba yang lemah. Kemudian Allah berfirman: ‘Al-hamlu minka wal qudratu
minnii’ (artinya : Engkau memikul hai Adam, sedangkan Akulah Tuhan yang
menyertakan qudrat-Ku padamu)”
Amanat itu dapat digolongkan kepada
dua :
1. Amanat dari Allah termasuk amanat
dari Rasulullah Saw dan,
2. Amanat sesama manusia.
Amanat dari Allah SWT termasuk amanat
dari Rasulullah Saw meliputi:
·
Iman, Islam dan Ihsan.
·
Amar ma’ruf dan Nahi mungkar.
·
Uswatun hasanah
Sedangkan amanat bagi sesama manusia
mencakup:
·
Suami dan isteri.
·
Orang tua dan anak
·
Tetangga dan masyarakat.
Iman adalah pangkal dari segala sesuatu dan kegiatan baik
zahir maupun batin; bertitik tolok dari Allah menuju Allah. Maka, orang yang beriman
akan melaksanakan amanat dengan sebaik-baiknya dibarengi dengan hati yang
bergantung dan pasrah kepada Allah SWT.
Kalimat iman utama adalah Laa
ilaaha illallaah. Syahadat atau kalimat pengakuan yang ketika diucapkan
maka kita telah ber-ikrar. Sedangkan untuk mencapai iman yang haq maka alam ini
adalah bukti nyata adanya Allah, Zat yang Wajibul Wujud Haqiqi Mutlak lalu
diteruskan ke dalam hati tiap-tiap diri hingga menjadi i’tiqad. Wallahua’lam